KLINIK KOPI
Jangan Ada Gula di Antara Kita

Jalan Kaliurang km 7.8 Gang Madukoro, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman , Yogyakarta, Indonesia. +62 813-8278-4240 Lihat peta

Klinik Kopi terkenal sebagai kedai kopi yang tidak menyediakan susu dan gula bagi pelanggannya. Di sini, kita dipaksa untuk menikmati "kopi yang sesungguhnya" sambil mendengar cerita dari sang story teller.

Diperbarui tgl 23 Desember 2021

jadi lokasi syuting AADC 2 dan Viva Barista

jadi lokasi syuting AADC 2 dan Viva Barista
(YogYes.com / Jaya Tri Hartono)

Buka Senin-Sabtu
Pk 09.00 - 16.00 WIB

Rintik-rintik hujan mengguyur kota Jogja ketika kami menyusuri kawasan Jalan Kaliurang sore itu. Puluhan kendaraan bermotor berjalan tersendat-sendat di atas aspal basah, dengan pengemudi yang kelelahan dan berusaha sampai di rumah sebelum larut malam. Tetesan hujan yang dingin merembes ke dalam jas hujan, membuat baju kami basah hingga ke lapisan terdalam. Namun, hal ini tidak menjadi penghalang besar bagi rasa ingin tahu YogYES pada Klinik Kopi, sebuah kedai kopi unik yang belakangan ini mulai terkenal di kalangan pecinta kopi Yogyakarta.

Baca juga:

Agak sulit menemukan Klinik Kopi. Lokasinya memang tidak terlalu mblusuk dan dekat dengan jalan utama, namun tidak ada papan nama atau tanda yang menunjukkan keberadaannya. Sebuah pagar bambu nan rapat menjadi tanda utama pintu masuk kedai kopi ini. Kami menapaki jalan berbatu melewati kebun sayuran mini di halaman depan, menuju bangunan semi permanen dari bambu dan bata yang tersembunyi di belakang. Sebuah teras bertegel kunci warna-warni yang luas menyambut kami, bersanding dengan kolam ikan dan kebun mint nan segar. Di sisi lain, sebuah ruangan bergaya industrial sederhana, terlihat cukup menarik dengan berbagai alat pemroses kopi di dalamnya. Tidak ada meja dan kursi layaknya di kebanyakan kafe, hanya ada area lesehan yang cukup luas di teras depan.

"Monggo, masuk mas," ujar salah seorang brewer di dalam ruangan. Dengan menggunakan topi bowler abu-abu yang khas, beliau mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan kami. "Saya Pepeng. Mas-nya dari mana?"

Setelah mengutarakan maksud dan tujuan YogYES, Pepeng langsung mempersilakan kami duduk di depan meja brewer-nya yang tertata rapi. Tidak banyak kursi yang terlihat, hanya cukup untuk menampung beberapa orang. Beberapa toples berisi roasted bean tersaji di hadapan kami, lengkap dengan label nama-nama yang unik seperti Sunda Jahe, Ratamba, Aie Dingin, Nagari Lasi dan Sunda Geisha. Di depan masing-masing toples kita bisa melihat beberapa kartu panjang dengan gambar yang unik, berisi penjelasan singkat mengenai asal muasal dan karakteristik biji tersebut. Dua grinder otomatis terlihat di sisi lain meja, dengan tulisan "Sorry, we don't have cappuccino!" tertempel di atasnya. Tidak ada daftar menu yang tersedia, membuat kami bingung ketika ingin memesan.

"Silakan mas, suka kopi yang seperti apa?" ujar Pepeng sambil mempersiapkan meja brewernya. "Suka yang kecut atau agak pahit? Tapi kita gak punya banyak yang pahit".

Rupanya di sini memang tidak ada daftar menu, tapi kita akan dijelaskan tentang masing-masing karakter rasa kopi yang ada di kedai ini. Brewer akan menanyakan karakter kopi yang mungkin kita suka, sambil memberi saran jenis biji yang bisa kita pesan. Hanya beberapa orang saja yang bisa masuk ke ruangan brewer, sehingga pelanggan lain harus mengantre di area lesehan hingga namanya dipanggil. Sekilas, hal ini membuat Klinik Kopi benar-benar seperti sebuah klinik kesehatan di mana kita harus mengantre untuk masuk ke ruangan dokter. Tidak aneh jika Klinik Kopi sering memanggil pelanggannya dengan sebutan "pasien".

Setelah diberi penjelasan mengenai masing-masing rasa kopi yang disajikan, kami pun memutuskan untuk memesan segelas Ratamba dan Sunda Jahe yang diseduh dengan cara pour over. Beberapa menit kemudian, dua gelas kopi beraroma harum pun tersaji di hadapan kami. Tidak seperti kopi pada umumnya, warna kopi ini terlihat lebih jernih kecoklatan hampir menyerupai teh pekat. Anehnya, kami tidak menemukan bungkusan gula yang biasa disajikan di kedai-kedai kopi lain.

"Di sini memang nggak ada gula mas," ujar asisten Pepeng sambil menunjuk ke bungkusan gula kosong bertuliskan "jangan ada gula di antara kita" yang tertempel di sudut meja brewer. "Nggak usah khawatir mas, rasanya nggak pahit banget kok, malah bisa terasa manisnya."

Penasaran, saya pun langsung mencicipi dua gelas kopi yang sudah kami pesan. Aroma Sunda Jahe terasa lebih harum ketimbang Ratamba, membuat saya tergoda mencicipinya terlebih dahulu. Begitu diseruput, rasa masam tipis terasa mendominasi lidah. Hampir tidak ada rasa rasa pahit yang terasa, membuatnya cocok untuk dinikmati pemula tanpa ditambahkan gula sama sekali.

Berbeda dengan Sunda Jahe, Ratamba terasa lebih pahit dengan after-taste yang kuat dan tertinggal di ujung atas tenggorokan. Namun rasa pahit ini berangsur-angsur menghilang ketika suhu kopi semakin dingin, berganti dengan rasa kecut yang kuat. Rasa yang cukup nendang ini membuat saya ketagihan untuk menyeruputnya lagi dan lagi, hingga tanpa sadar kopi yang saya pesan pun sudah habis tidak bersisa.

Puas mencicipi kopi, Pepeng pun mengajak YogYES ke ruangan roasting yang ada di belakang. Rupanya, hampir setiap tamu tidak hanya diajak mencicipi kopi yang ada di kedai kopinya, tapi juga disajikan berbagai cerita mengenai dunia kopi nusantara. Kami pun duduk di samping mesin roasting yang terus mengeluarkan aroma harum, sambil mendengarkan cerita Pepeng tentang warung kopi kecilnya ini.

"Awalnya saya kerja kantoran mas, tapi suka traveling. Ketika jalan-jalan, oleh-oleh yang saya bawa selalu kopi," cerita Pepeng sambil mengotak-atik mesinnya. "Dari situ saya tertarik membangun Klinik Kopi."

Menurut Pepeng, Klinik Kopi pertama kali buka pada tahun 2013. Saat itu, lokasinya masih berada di sekitar Jalan Gejayan, beberapa ratus meter dari Terminal Condongcatur. Ilmu memproses kopi ia peroleh secara autodidak dari satu sumber ke sumber lain. Metode penyeduhan (brewing) yang ia pilih juga cenderung murah dan mudah untuk digunakan oleh siapa saja. Hal ini sesuai dengan keyakinannya bahwa kopi merupakan milik semua orang, sehingga bisa dibuat dan dinikmati oleh siapapun.

"Saya mau mengenalkan kopi yang sebenarnya mas. Selama ini anggapan kita kopi itu ya rasanya pahit saja. Padahal sebenarnya kopi tidak selalu pahit, bahkan bisa manis tanpa gula asalkan pemrosesannya benar."

Untuk mematahkan kesan pahit ini, Klinik Kopi berfokus pada biji arabika light roasted. Artinya, proses penyangraian biji berlangsung tidak terlalu lama, sehingga biji kopi tidak gosong dan rasa pahitnya pun tak terlalu kuat. Biji kopi light roasted ini cenderung dihindari oleh kedai kopi dan kafe lain karena strukturnya yang keras, sehingga beresiko merusak grinder (penggiling). Dengan proses penyeduhan yang tepat, rasa yang dihasilkan bisa bervariasi dari manis, kecut, dan lain-lain.

Selain mengedukasi pelanggan yang datang, Pepeng juga memberi pelatihan pada para petani kopi di berbagai wilayah Nusantara. Untuk melakukan hal ini, Pepeng pun rela berkelana hingga ke desa-desa yang cukup jauh di Sumatera dan Papua. Petani-petani di wilayah tersebut dibimbing untuk melakukan pemrosesan biji kopi yang benar, mulai dari pemetikan, pencucian, hingga penjemuran biji menjadi green bean. Biji yang sudah diolah memiliki kualitas rasa dan harga yang lebih baik, sehingga lebih menguntungkan bagi para petani. Tak ketinggalan, Pepeng pun membeli green bean para petani ini untuk diolah dan dijual di Klinik Kopi.

Saat ini, Pepeng sudah membimbing sekitar 6 kelompok petani kopi yang menghasilkan 30 macam bean. Pepeng menyematkan nama-nama unik yang sesuai dengan wilayah asal, identias petani, dan karakter rasa masing-masing seperti Sunda Geisha, Sunda Jahe, Aie Dingin, Yellow Catura dan lain-lain. Tidak semua roasted bean ini selalu tersedia di klinik, karena biji yang disajikan selalu berganti sesuai dengan ketersediaan.

"Sampai saat ini biji yang paling laris Yellow Catura dan Bu Nur Honey Process, keduanya punya rasa yang unik", jelas Pepeng. "Bu Nur rasanya manis banget, sementara Yellow Catura rasanya paling kaya dan fruity."

Hasil kerja keras Pepeng bisa di lihat dari nama Klinik Kopi yang sudah terkenal di kalangan pecinta kopi Yogyakarta. Bukan hanya penggila kopi, masyarakat umum pun juga sering berkunjung untuk mencicipi kopi Pepeng sekaligus berfoto ria di kedainya yang instagram-able. Desain kedainya yang penuh bambu memang terlihat unik, membuat setiap orang betah duduk berlama-lama sambil mengobrol dengan pengunjung lain. Beberapa artis terkenal seperti Mira Lesmana, Rio Dewanto, Nicholas Saputra dan Dian Sastro pun pernah berkunjung ke sini. Bahkan, Klinik Kopi sempat dijadikan tempat shooting film dan acara TV seperti Ada Apa Dengan Cinta 2 dan Viva Barista.

"Tapi saya biasa saja sih mas, bagi saya semua pelanggan itu sama saja. Sama-sama ingin mencicipi kopi yang sebenarnya," ujar Pepeng sambil menuang kopi yang baru saja selesai disangrai.

Pepeng pun menjelaskan bahwa Klinik Kopi terbuka bagi siapa saja, termasuk bagi pemula di dunia kopi. Dengan senang hati Pepeng akan menjelaskan karakter rasa yang tepat dan nyaman bagi mereka yang tidak terbiasa meminum kopi. Selain itu, kopi yang masih fresh juga cenderung lebih aman bagi mereka yang memiliki perut sensitif, berbeda dengan kopi sachet yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

"Pokoknya jangan takut minum kopi. Cobalah berikan penghargaan kepada kopi yang kita minum, kenali siapa petaninya, dari mana daerah asalnya. Dengan begitu, kita bisa lebih menghargai kopi-kopi di Indonesia," kata Pepeng sambil mengakhiri wawancara kami sore hari itu.

Jadi, masih takut mencoba minum kopi tanpa gula?

Cara menuju ke sana:
Dari Tugu Jogja - menuju Jalan AM Sangaji - lurus ke Jalan Monjali - perempatan Monjali belok kanan, ke Jalan Ringroad Utara - perempatan Kentungan belok kiri, ke Jalan Kaliurang - lurus hingga Gardu PLN Jalan Kaliurang km 8 - gang di utara Gardu PLN belok kanan, ke Gang Madukoro - Klinik Kopi berada di kiri jalan.

Baca juga:
view photo