BAKMI JOWO MBAH GITO
Bersantap Seraya Mengenang Suasana Rumah Eyang

Jl. Nyi Ageng Nis 9, Rejowinangun, Yogyakarta, Indonesia 0852-2840-8800 Lihat peta

Tak hanya kelezatan santapannya saja yang ditawarkan, namun juga suasana Jawa-tradisional yang membuat pengunjung akan mengarungi lorong waktu menuju masa silam.

Diperbarui tgl 23 Desember 2021

Bakmi <i>Godhog</i>

Bakmi Godhog
(YogYes.com / Jaya Tri Hartono)

Waktu Buka Bakmi Jowo Mbah Gito
Setiap hari pukul 11.00 - 23.00 WIB

Harga Makanan (2018)
Rp20.000 - Rp25.000

Harga Minuman (2018)
Rp4.000 - Rp10.000

Lantunan musik tradisional uyon-uyon gending Jawa mengiringi langkah setiap pengunjung yang masuk di warung makan Bakmi Jowo Mbah Gito. Sejauh mata memandang bangunan itu dipenuhi kayu-kayu dengan bentuk yang unik. Perkakas-perkakas tradisional seperti lonceng sapi, lampu teplok, lampu gantung antik khas Jawa, lampu andong, kukusan tempat menanak nasi, tenggok, kendi, poci, dan tempat untuk mencari rumput terpasang rapi di setiap penjuru warung.

Baca juga:

Sekurang-kurangnya 40 orang karyawan yang bekerja secara shift menjadi pramusaji dan koki di warung itu. Mereka dengan sigap menerima pesanan-pesanan dari pengunjung dan memprosesnya. Setiap saat ada saja dari mereka yang berseliweran membawa nampan berisi makanan atau minuman pesanan pelanggan. Namun, ada yang unik dari mereka, setiap karyawan memakai baju lurik tradisional lengkap dengan blangkon bagi laki-laki. Ketika masuk warung dan berjalan ke sisi kiri terdapat panggung yang telah berderet menyandar lakon-lakon wayang di dinding kayu, lengkap dengan gamelan-gamelannya. Kesan pertama jika memasuki warung ini: sangat kental aroma Jawa-tradisionalnya.

Mbah Gito, begitulah pria berusia 70 tahun sebagai pemilik warung bakmi Jawa sering dipanggil. Dialah dalang di balik interior warung makan yang sudah berdiri sejak Juni 2008 itu. Ia sangat mencintai budaya Jawa, dan ingin mengenalkan budaya Jawa ke generasi setelahnya. Itulah yang menjadikan alasannya mengapa membuka tempat makan dengan konsep seperti itu. Mbah Gito yang sebelumnya juga aktif di paguyuban karawitan, sering mengundang teman-teman paguyubannya untuk mengisi panggung wayangnya. Ada dalang, penabuh gender, penggesek rebab, pengguguh gong, lengkap dengan sindennya.

Jangan takut ataupun kaget bila mendapati patung dengan baju lurik tradisional komplit dengan blangkon berdiri di beberapa tempat. Itu hanyalah replika dari sosok Mbah Gito. Di sisi kiri warung, dekat dengan panggung wayang, terdapat satu bagian bangunan yang memiliki bentuk seperti kandang sapi. Ternyata kandang sapi itu merupakan kandang sapi asli yang dulu ada di rumah Mbah Gito. Kadang, di kandang itu juga menjadi tempat pementasan tari.

"Ini kan kandang sapi asli. Makanya tak tulisi 'Kandang Sapine Mbah Gito'," Kisah Mbah Gito sambil menunjukkan papan tulisan di bawah atap.

Jika orang lain tidak bisa mendatangi rumah eyang di desa, biarlah Mbah Gito yang mendatangkannya di tengah Kota Jogja. Mungkin begitulah konsep yang ingin Mbah Gito bawa untuk warung makannya. Bahkan di salah satu spot ada tiang penyangga bangunannya yang sengaja dibuat reyot-reyot. Ia ingin orang lain bisa merasakan suasana rumah eyang di desa dan menganggap tempat makan yang ia bangun sebagai rumah sendiri. Sedangkan perabot-perabot tradisional-unik yang ia bawa di warungnya selain sebagai aksesoris warungnya, juga untuk memberikan pengetahuan ke orang lain bahwa begitu adanyalah suasana rumah desa di zaman dulu. Dari banyaknya perabot-perabot itu ada beberapa barang yang benar-benar peninggalan dari orang tua Mbah Gito, sedangkan yang lain adalah koleksi pribadinya.

"Wong ndeso opo onone ndeso, rasah isin-isin," Ujar Mbah Gito saat menjelaskan konsep dari warung makan bakmi Jawanya ini. "Harapannya supaya budaya Jawa jangan sampai hilang. Lestarikanlah. Pokoknya, apa adanya, natural. Tinggalannya orang tua seperti apa itu dilestarikan saja," Lanjutnya.

Warung makan Bakmi Jowo Mbah Gito memang cocok untuk bernostalgia bersama sanak saudara, teman-teman, atau sekadar mengasingkan diri dari keramaian di ibukota. Minimal dalam satu meja tersedia 4 kursi. Di lantai satu bisa muat 300 orang, sedangkan di lantai dua bisa muat 100 orang. Pengunjung bebas memilih mau duduk di kursi atau lesehan di tempat yang dibuat panggung-panggung. Suasana warung akan membuat pengunjung betah berlama-lama menikmati santapan di tempat itu.

Menelisik lebih jauh di tahun-tahun silam, saat masih jejaka, Mbah Gito memang sudah terbiasa berjualan. Namun, dia belum telaten dan akhirnya berhenti berjualan. Lalu, bekerja sebagai sales hasil bumi ia lakoni untuk memenuhi biaya hidupnya. Usianya yang sudah memasuki kepala 6 tidak menyurutkan niatnya untuk memulai lagi usaha jualan makanan yang dulu pernah ia lakoni. Rintangan demi rintangan ia hadapi, bahkan pada tahun keempat Mbah Gito terancam menutup warungnya. Namun, berkat semangatnya untuk terus mengevaluasi dan mencari solusi dari setiap masalah, akhirnya Mbah Gito bangkit lagi dan tetap mempertahankan warungnya hingga sekarang ini. Yang membuat Mbah Gito rendah hati adalah ia mengizinkan karyawannya untuk membuka warung bakmi sendiri setelah bekerja di warung Bakmi Jowo Mbah Gito. Mbah Gito malah senang jika karyawannya ada yang memiliki ide seperti itu dan tidak merasa takut akan menjadi saingan.

Makanan yang tersedia di warung ini tentu saja makanan khas ndeso seperti bakmi godhog, bakmi goreng, nasi goreng, rica-rica dan masih banyak lagi. Minumannya ada wedang uwuh, susu jahe, wedang jahe, dan lain-lain. Menu makanan dan minuman itu semakin membuat hidmat ritual nostalgia saat masih ada eyang. Soal rasa, Mbah Gito mengaku selalu meningkatkannya sesuai dengan pasar. Berkat makanan dan interior warungnya yang unik, jajaran pejabat penting, artis sampai turis dari Kanada, Amerika, Australia, Turki, Rusia, sudah bertandang ke warung ini.

Cara menuju ke sana:
Dari Jalan Malioboro - Jl. Panembahan Senopati - Jl. Brigjen Katamso - Jl. Menteri Supeno - Jl. Veteran - Bakmi Jowo Mbah Gito

Baca juga:
view photo