GEOFOREST WATU PAYUNG
Pengger Versi Update

Turunan, Girisuko, Panggang, Kabupaten Gunungkidul 55872, Daerah Istimewa Yogyakarta 0877-3972-7837 Lihat peta

Sudah banyak yang tahu mengenai Hutan Pinus Pengger, wanawisata favorit netizen. Namun hampir belum ada yang tahu tentang Geoforest Watu Payung, wanawisata baru yang serupa tapi tak sama dengan Pengger.

Diperbarui tgl 23 Desember 2021

Suasana di Sekitar <i>Hasta Apsari</i>

Suasana di Sekitar Hasta Apsari
(YogYes.com / Jaya Tri Hartono)

Tiket Masuk Geoforest Watu Payung 2018
Rp3.000/orang

Jam Buka Geoforest Watu Payung
Senin - Minggu: buka 24 jam

Kita semua sudah tahu Hutan Pinus Pengger, wanawisata yang sudah lebih dari setahun menjadi primadona di Yogyakarta. Pemandangannya yang memadukan teduhnya hutan pinus dengan indahnya lembah penuh cahaya membuat wisatawan rela berjauh-jauh datang ke sini, terutama pada petang hari. Karya-karya land art yang tersebar di hutan ini makin menambah daya tariknya bagi wisatawan yang tidak sabar membagi momen liburan di lini masa media sosial.

Baca juga:

Namun, bagaimana dengan Geoforest Watu Payung? Terletak 27 KM ke arah tenggara titik 0 KM Yogyakarta, Geoforest Watu Payung adalah sebuah hutan jati yang tumbuh di tepi jurang sebelah barat Pegunungan Sewu yang sekarang telah disulap menjadi sebuah tempat wisata. Apa hubungannya hutan jati ini dengan Pengger? Bisa dibilang Watu Payung adalah Pengger versi update.

Pertama, keduanya sama-sama berada sedikit jauh dari Yogyakarta dan harus ditempuh dengan kendaraan sewaan. Bedanya, jalanan menuju Pengger lebih mudah ditempuh dan ramai dibandingkan jalanan menuju Geoforest yang tidak hanya masih sepi, tetapi juga lebih banyak tanjakannya dan lebih kasar jalanannya.

Keduanya wanawisata tersebut punya sejarah yang paralel tetapi komposisi hutan berbeda. Seperti Pengger, Watu Payung dulunya juga merupakan hutan produksi yang kemudian dialihfungsikan menjadi objek wisata. Bedanya, Pengger yang terletak di Kabupaten Bantul adalah hutan pinus, sementara Geoforest dulunya adalah hutan produksi jati. Akibatnya, yang pertama terkesan lebih rindang dari yang kedua, apalagi pada musim kemarau. Lantai hutan Pengger juga kebanyakan adalah tanah, sementara lantai hutan Geoforest kebanyakan adalah bebatuan karang, yang menjelaskan dari mana nama hutan ini berasal.

Kedua wisata itu juga sama-sama menawarkan pemandangan lembah yang indah. Di Pengger, saat sore, kita bisa menikmati hamparan hutan dan cahaya Yogyakarta di bawah. Di atas kita bisa melihat matahari yang perlahan turun tepat di depan mata kita. Sementara itu di Geoforest, di waktu yang sama, hutan yang tumbuh di punggung perbukitan, sungai Oyo yang membelah perbukitan tersebut, titik-titik lampu perkampungan warga yang terselip di antara pepohonan, dan langit membiru petang hari bertabur bintang yang entah di mana batasnya. Tidak ada pemandangan sunset di sini, sebab matahari terbit di sisi kiri sudut mata kita.

Keempat, Pengger dan Geoforest sama-sama telah disentuh tangan dingin Wisnu Ajitama bersama teman-temannya di Pandai Ruang. Seperti Pengger yang terkenal karena karya-karya land-art Wisnu, Geoforest juga sudah disulap Wisnu menjadi galeri karyanya yang masih konsisten berupa land art berbahan dasar tanaman saliara (Lana camara). Hanya saja, berbeda dengan Pengger yang dititipi Wisnu enam buah karya, Geoforest hanya memiliki empat buah karya yang ia kerjakan dengan bantuan teman-teman Pandai Ruang dan warga sekitar.

Kenapa saya menyebut Geoforest adalah Pengger versi update yang menandakan bukan hanya keberlanjutan, tetapi juga peningkatan? Sebab betul ada peningkatan. Dalam hal ini, peningkatan yang saya maksud adalah karya Wisnu Ajitama yang nampak semakin refined. Bila di Pengger karya Wisnu masih terdiri dari gabungan bagian silangan dan pilinan, di Geoforest ia sudah sama sekali meninggalkan bentuk menyilang yang terkesan kasar dan mengadopsi bentuk pilinan seluruhnya. Efek refined tersebut bersumber dari sini. Selain itu, peningkatan juga terjadi dari segi kecerdikan Wisnu menciptakan karyanya dengan memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan estetis di lokasi. Bila di Pengger karya Wisnu bisa dipindah-pindahkan sesuka hati tanpa mengubah nilainya (kecuali Pancawara), Geoforest berbeda. Kita tidak bisa memindahkan Manara yang berbentuk dasar mercusuar, misalnya, sebab mercusuar memang biasanya berada di tepi tempat yang tinggi, tempatnya sekarang ini. Di tambah lagi, tepat di tempat tinggi itu tumbuh juga pohon yang sekarang menjadi rangka dalam mercusuar Wisnu. Kualitas yang sama juga berlaku untuk karya yang lain, misalnya, Goro-Goro yang tentu terinspirasi dari bentuk cekung tebing tempatnya berdiri. Harold Bloom, seorang kritikus sastra, menganggap ciri puisi yang baik adalah inevitablity, hal yang sama juga berlaku untuk cabang seni yang lain ternyata.

Kekurangan-kekurangan yang saya indikasikan di atas tentu akan diperbaiki oleh pengelola seiring berkembangnya objek wisata ini. Di samping tetap menjaga kekayaan geologisnya, jelas Agus Priyino (salah satu anggota Pandai Ruang) yang telah begitu baik menjadi guide sukarela saya saat berkunjung ke Geoforest, pengelola akan menyeimbangkan kesan gersang bebatuan karang dengan menanam tanaman perdu dan rumput. Selain itu, pengelola juga akan membangun jalan setapak yang lebih baik, tempat ibadah, dan tempat makan, sehingga fasilitas di sini tidak akan kalah dengan yang ada di Pengger. Kekurangan yang tidak mungkin diperbaiki hanya kondisi alamiah tumbuhan jati saat kemarau. Namun begitu, Wisnu malah menganggap kontras antara karya seninya yang sekarang dipamerkan di Geoforest dengan cabang-cabang jati beserta dedaunan kering yang gugur akan menimbulkan efek yang lain. "Efek meditatif," terangnya. Mendengar ini saya mengangguk, mengalihkan pandangan saya pada Andum Tumtum dan jati-jati yang masih hijau di atas. Saya mencoba membayangkan kemarau turun; membayangkan bagaimana sensasinya melihat karya curvey Wisnu bersanding dengan cecabang jati yang tajam. Sepertinya saya harus ke sini lagi ketika kemarau.

Cara menuju ke sana:
dari 0 KM Yogyakarta - Jl. Panemabahan Senopati - Jl. Brigadir Jenderal Katamso - Jl. Kolonel Sugiyono - Jl. Sisigamangraja - Jl. Imogiri Barat - Jl. Bakulan Imogiri - Jl. Imogiri Siluk - Jl. Siluk Panggang Belok Kiri 2,7 KM

Baca juga:
view photo