THE LUCKY BOOMERANG BOOKSHOP
Dikunjungi Wisatawan dari Seluruh Dunia

Jl. Sosrowijayan No.1, Sosromenduran, Gedong Tengen, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55271 0878-6169-8307 Lihat peta

Terselip di antara keramaian Malioboro dan lokalisasi Kota Jogja, toko buku bekas yang satu ini dikunjungi oleh wisatawan tidak hanya dari seluruh Indonesia, tapi juga dari seluruh dunia.

Diperbarui tgl 23 Desember 2021

Fasad

Fasad
(YogYes.com / Jaya Tri Hartono)

Siang itu, setelah beberapa lama berbincang dengan Bu Sri Winarni, seorang pria kaukasia masuk ke dalam toko dan menyapa. "Selamat sore. Aku mau kembali buku," katanya yang saya perkirakan ada di penghujung kepala dua. Ia melanjutkan lagi, "Saya. Aku. Beli buku. Di sini. Six months ago." Meski terbata, tidak susah dimengerti: ia membeli buku dan ingin mengembalikannya, enam bulan kemudian. Bila saya yang punya toko buku, saya tentu menganggap dia sedang bercanda. Namun beda dengan Bu Wina, pemilik sekarang The Lucky Boomerang Bookshop; ia menyambutnya dengan ramah dan antusias.

Baca juga:

Terletak di tengah gang sempit yang berhimpit-himpitan dengan penginapan, cafe, dan restaurant, toko buku yang sudah berdiri sekitar 1994 ini memang mengangkat konsep yang sangat unik. Sama dengan toko buku lain, di sini kita tentu bisa membeli buku—meskipun kelasnya bukan Gramedia atau Togamas yang menjual buku baru; di sini hanya ada buku bekas. Bedanya dengan toko lain, setelah selesai membaca buku yang sudah dibeli, entah sebulan, setahun, atau sedekade, pembeli bisa mengembalikannya dan mendapatkan setengah dari uang yang dibayarkan dulu. Inilah yang sedang dilakukan pria kaukasia yang ternyata dari Ceko tadi.

Si pria Ceko menyerahkan tiga buah buku: dua asing buat saya; sementara satu, buku Mark Twain, pernah saya baca saat kuliah. Bu Wina mengecek: dua diantaranya memang dibeli di Boomerang, ada stempel di halaman judulnya; tetapi buku Mark Twain dibeli di tempat lain. "E', ini dijual, ini bukan dari sini," kata Bu Wina menawarkan membeli buku itu. Si pria Ceko membeo, tetapi kemudian memutuskan tidak ingin menjual Mark Twain-nya. Kebanyakan buku yang ada di toko buku ini didapatkan dengan cara ini: pembeli datang dan menjual buku bekas mereka. Meskipun pernah dalam sejarahnya, Boomerang juga membeli buku-buku baru dari pemasok dan buku bekas yang ditinggal turis di penginapan sekitar.

"Kembali 65.000," kata Bu Wina. "Perlu cash, apa mau ambil buku lain?" lanjutnya, kali ini menawarkan pilihan pembayaran. "Aku lihat," jawab si pria Ceko, yang artinya ia ingin melihat-lihat dulu. Pergilah ia ke depan rak-rak bambu, rumah bagi buku-buku yang meskipun kebanyakan berbahasa Inggris, ada juga yang berbahasa Perancis, Swedia, Jepang, dll. Bila ia mengambil buku yang senilai dengan 65.000, ia tidak perlu membayar, tapi bila ia mengambil, misalnya buku V. S. Naipul, Among the Believers yang dihargai 150rb, ia harus menambahkan selisih harganya. "Mas," panggil Bu Wina pada si pria, "aku mau Mark Twain-nya kalau mau dijual." Bu Wina gigih mencoba, tapi si pria Ceko tetap tidak ingin berpisah dengan Huckleberry dan Tom Sawyer.

Namun melihat kegigihannya, nampak bahwa Bu Wina tahu buku mana yang patut diberi porsi perjuangan lebih. Dengan kata lain, ia tahu novel Mark Twain yang ditenteng si pria Ceko adalah buku bagus, yang bakal laku dengan mudah. Selain karena insiden Mark Twain tadi, terlihat pula kemahiran Bu Wina dengan buku-buku dari harga dan shelving. Secara umum, buku yang terkenal di kalangan intelektual atau buku dari sastrawan besar dunia (misalnya Among the Believer, Sons and Lovers, The Philosopher's Pupil) dihargai cukup mahal dan diletakkan di titik yang eye catching. Hal sebaliknya terjadi dengan buku-buku yang kurang terkenal. Hal ini menarik, sebab Bu Wina sendiri mengaku bukan seorang pembaca. Novel, misalnya, tidak bisa ia mengerti sama sekali. "Kadang penulis novel itu lebih pintar dari pembaca," ujarnya. Sementara jenis buku lain seperti biografi, hanya ia baca sepotong-sepotong. Saya hampir percaya ini bulat-bulat dan menyimpulkan bahwa semua pengetahuannya tentang buku bagus dan buruk ia peroleh dari mengamati perputaran 'boomerang': yang paling sering pergi dan datang artinya buku bagus. Namun kemudian saya teringat, saat awal saya datang dan melihat-lihat sekeliling rak buku terlebih dahulu; dan ia menanyakan pengarang kesukaan saya, ia tahu dua penyair Indonesia yang saya sebutkan. Mungkin, wanita berjilbab dan yang sangat ramah dengan saya ini hanya sedikit merendah.

Si pria Ceko pergi; saya melanjutkan kembali obrolan saya dengan Bu Wina. Ia menceritakan awal dari toko buku yang juga menjual tandamata dan kartu pos ini. Semuanya bermula dari hobi membaca Kerry Martin dan suaminya Gunawan Soewito, adik Bu Wina. Pasangan suami istri ini, saking senangnya membaca, lama-lama punya begitu banyak koleksi sehingga rak besar di sebuah ruangan di rumah mereka penuh dengan buku-buku. Karena ini, ditambah pengamatan Gunawan Soewito yang melihat kebiasaan turis-turis asing mengisi waktu luang perjalanan mereka dengan membaca, munculah ide untuk menjual buku-buku koleksi pribadi tersebut. Kemudian, agar lebih ramai, ditambahkan pula jualan tandamata tradisional dan kartu pos. Bu Wina yang pada awal pembukaan toko diajak adiknya ikut kerjasama, ikut membantu operasional toko. Dan saat adik dan iparnya memutuskan pindah ke Australia, usaha toko buku akhirnya diambil alih sepenuhnya oleh Bu Wina.

Tak terasa, sejak siang di dalam, matahari di luar mulai melembut menembus kaca. Saya mulai menutup obrolan. "Saya bakal datang lagi besok buat ambil foto," kata saya. Bu Wina menyarankan menghubunginya dulu melalui Whatsapp, karena jam buka tokonya benar-benar bergantung dengan jadwal pribadinya. Saya mengiyakan dan berpamitan. Di jalan keluar, saya sempat melirik buku-buku yang bila punya uang berlebih ingin saya bawa pulang dan tidak akan kembalikan.

Baca juga:
view photo