MAKAM RAJA-RAJA IMOGIRI
Berkunjung ke Pusara Para Leluhur Yogyakarta

Jl. Makam Raja, Karang Kulon, Karangtalun, Imogiri, Bantul, Yogyakarta 55782 Lihat peta

Makam Raja-Raja Imogiri adalah kompleks makam Raja-Raja Mataram Islam beserta keturunannya, yaitu raja-raja yang bertahta di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Apa saja yang ada di dalamnya? Simak selengkapnya.

Diperbarui tgl 23 Desember 2021

makam raja raja imogiri

(YogYes.com / Jaya Tri Hartono)

Tiket Masuk Makam Raja-Raja Imogiri (2018)
Biaya masuk bersifat sukarela dengan mengisi kotak infak
Biaya sewa pakaian tradisional Rp10.000
Biaya pengambilan air padasan bersifat sukarela dengan mengisi kotak infak

Jam Buka Makam Raja-Raja Imogiri
Senin pukul 10.00-13.00 WIB
Jumat pukul 13.30-16.00 WIB
Minggu pukul 10.00-13.00 WIB

Satu per satu kaki kami menaiki anak tangga yang mulai terhampar dari area parkir Makam Raja-Raja Imogiri atau lebih dikenal dengan Makam Imogiri. Kami tak punya niatan sedikit pun untuk menghitung anak tangga di sana karena konon setiap orang pasti akan berbeda-beda menghitungnya. Namun, baru naik beberapa anak tangga, kami sudah dicegat oleh kakek berpakaian surjan, bawahan jarik, dan di kepalanya dipakaikan blangkon khas Yogyakarta.

Baca juga:

Kakek itu berbicara cepat dengan Bahasa Jawa. Beliau menginformasikan bila makam tidak dibuka karena bertepatan dengan bulan Ramadhan. Namun, pengunjung tetap bisa datang hingga luar makam. Lalu beliau pun mulai merapalkan doa yang ditujukan untuk leluhur-leluhur sedangkan kami mengamininya. Pada akhirnya kami dibuatnya kaget karena ternyata di ujung persuaan beliau hanya meminta uang untuk membeli rokok. Kami pun memberikan uang secukupnya.

Kembali kami melanjutkan perjalanan hingga sampai di depan Masjid Pajimatan. Kabarnya, masjid ini salah satu yang tertua di Yogyakarta. Dengan berarsitektur Jawa, masjid ini seperti bangunan khas Jawa tradisional dengan model limasan. Atapnya berupa limasan lawakan. Tidak ada kubah yang terpasang di bagian atapnya, hanya ada cungkup yang berbentuk bunga kenanga dari tembaga.

Di depan masjid telah ada dua lelaki yang juga berpakaian seperti kakek yang kami temui tadi. Mereka memberi isyarat kepada kami untuk mengisi kotak infak di depan mereka. Setelah mengisi kotak infak, kami melanjutkan perjalanan menaiki tangga lagi. Di tengah jalan, kami sudah ngos-ngosan. Ujung tangga masih nampak jauh di atas sana. Membayangkan es jeruk diminum siang itu rasanya begitu nikmat. Astaghfirullah! Kami kan puasa.

Istirahat sejenak sepertinya cukup menggantikan es jeruk. Kami pun duduk di tengah-tengah tangga sambil menikmati semilir angin bulan Juni yang membawa udara kering. Kami baru sadar ternyata tangga-tangga menuju Makam Imogiri berada di tengah-tengah hutan. Untunglah kami tidak perlu berjalan di bawah terik matahari karena pohon-pohon menghalangi sinar matahari.

Setelah cukup lama istirahat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Ternyata sepanjang perjalanan tadi kami hanya bertemu kurang dari 10 orang yang menuruni tangga. Mungkin memang waktunya sedang tidak memungkinkan untuk berkunjung di tempat yang menghabiskan banyak tenaga untuk mencapainya karena bertepatan dengan bulan puasa. Namun, hanya orang-orang kuatlah yang berani menantang diri. Benerin Kerah Baju.

Sesampainya kami di ujung tangga, kami berada di persimpangan di mana bila ke kanan menuju makam Raja-Raja Yogyakarta, ke kiri menuju makam Raja-Raja Surakarta, sedangkan bila lurus ke makam Raja Mataram. Kami pun mengambil jalan lurus, di kanan kiri kami terdapat sebuah kolam dengan sejumlah ikan di dalamnya. Tangga menuju gapura Supit Urang terhampar di depan kami. Namun, saat melangkahkan kaki, ada salah satu anak tangga yang berwarna hitam, berbeda dengan anak tangga lainnya. Konon, itu adalah sebuah makam dari pengkhianat kerajaan Mataram, Tumenggung Endronoto. Ia membocorkan ke Belanda letak gudang logistik Mataram dengan iming-iming tawaran dijadikan bupati di wilayah Jawa Barat. Tumenggung Endronoto diakhiri masa hidupnya dengan cara dipancung menjadi tiga, bagian kepalanya dimakamkan di gapura makam, badannya di anak tangga menuju Supit Urang, dan kakinya di kolam.

Tujuan badan Tumenggung Endronoto dimakamkan di salah satu anak tangga agar diinjak-injak oleh para peziarah makam. Anak tangga yang terbuat dari batu yang memanjang itu saat ini sudah berlekuk. Dari sini kami seperti diingatkan bahwa sebagai warga negara, wajib menjunjung dan membela negara. Bukan mengkhianati dan merongrong di muka dunia apalagi hanya karena iming-iming jabatan.

Begitu masuk gapura Supit Urang yang desain arsitekturnya begitu kental Jawa dengan warna batu bata merah, di sebelah kanan terdapat bangsal tempat para Abdi Dalem Keraton Surakarta, sedangkan sebelah kiri bangsal Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Bangsal Surakarta agak lebih tinggi bangunannya karena di dalam silsilah, Surakarta memiliki posisi yang lebih tinggi. Lalu berjalan lebih ke dalam menuju pintu gerbang utama dan tembok makam terdapat 4 buah padasan (gentong besar) pusaka yang dulunya didapat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma dari berkunjung ke kerajaan-kerajaan sahabatnya di antaranya Turki dan Syam. Padasan ini dicuci dan diisi air setahun sekali di bulan Muharram atau Suro. Dulunya air padasan ini digunakan untuk wudhu raja ketiga Mataram sebelum berangkat salat Jumat di Mekah.

"Sekarang dikeramatkan di situ. Untuk siapa yang percaya bahwa itu suatu gentong yang keramat, air yang masuk di situ adalah air yang banyak barokahnya," Ujar pemandu wisata Bardo yang kami temui di bangsal Surakarta.

Air padasan ini bisa diambil oleh pengunjung makam dengan memberi tahu Abdi Dalem terlebih dahulu. Dengan mengisi kotak infak seikhlasnya, pengunjung bisa membawa pulang sebotol kecil atau besar air padasan ini yang dipercaya orang-orang dapat menyembuhkan berbagai penyakit, tolak bala, ataupun untuk kesuksesan. "Kalau airnya yang di botol berkurang, bisa di-jok (diisi ulang) dengan air yang belum dimasak, nanti khasiatnya bisa digunakan sampai hari pasaran Kliwon bulan Suro," Lanjut Bardo. Kami tidak tertarik sedikit pun untuk membawa pulang air padasan ini karena kami rasa meminumnya tidak akan membuat kami terhindar dari kenangan mantan. Apalagi kenangan mantan yang pergi begitu saja saat kita lagi sayang-sayangnya.

Makam Imogiri ini dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian utamanya bernama Kasultanan Agungan, tempat pemakaman Raja Mataram ketiga Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma beserta istrinya Sri Ratu Batang, raja kelima Sunan Amangkurat II, dan raja keenam Sunan Amangkurat III. Di bagian bawahnya terdapat Paku Buwanan tempat dimakamkannya Sunan Pakubuwono (PB) I, Sunan Amangkurat IV, dan PB II. Lalu di sebelah timur berturut-turut terdapat bagian Kasuwargan Yogyakarta, Besiyaran Yogyakarta, dan Saptorenggo Yogyakarta yang merupakan tempat pemakaman Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I sampai IX, kecuali HB II yang dimakamkan di Makam Raja-Raja Kotagede. Sedangkan di sebelah barat berturut-turut terdapat bagian Kasuwargan Surakarta, Kapingsangan Surakarta, dan Girimulya Surakarta yang merupakan tempat pemakaman PB III sampai XII.

Pada hari-hari tertentu, pengunjung dapat memasuki makam Imogiri dan mengirimkan doa di depan pusara para leluhur dengan mengenakan busana tradisional. Laki-laki memakai beskap lengkap dengan jarik, sabuk, timang, samir, dan blangkon. Sedangkan perempuan memakai baju kemben dan jarik. Baju-baju ini dapat disewa di kompleks makam. Yang menarik dari Makam Imogiri seperti yang diceritakan Abdi Dalem Keraton Surakarta Suripto, makam Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma selalu beraroma wangi karena tanahnya berasal dari Mekah. Sultan Agung dikenal sebagai raja yang arif dan bijaksana. Walaupun Makam Imogiri dianggap tempat yang mistis, berkunjung ke tempat ini akan membuat kita semakin mengenal para leluhur pendiri Yogyakarta Hadiningrat.

Di ujung lorong makam raja-raja Surakarta, terdapat gerbang pintu keluar yang di depannya telah terparkir dengan rapi motor-motor. Rupanya di sana adalah pangkalan ojek. Pengunjung bisa menggunakan jasa ini jika malas menuruni anak-anak tangga yang jumlahnya bejibun. Berhubung kami bukan orang yang lemah dan tak suka hal-hal yang cemen, kami pun memutuskan kembali ke parkiran motor dengan menuruni anak tangga. Benerin kerah lagi.

Catatan:
Selama seminggu kaki saya terasa kebas setelah naik-turun tangga Makam Imogiri. Liburan Idulfitri pun saya lebih banyak di rumah karena malas untuk jalan.

Cara menuju ke sana:
Dari Terminal Giwangan Yogyakarta - Jalan Imogiri Timur - Jalan Pramuka - Jalan Giriloyo - Pertigaan Belok Kiri - Makam Raja-Raja Imogiri

Baca juga:
view photo