BIOSKOP PERMATA
"Matahari" dalam Senjakala Bioskop Permata

Jl. Sultan Agung, Yogyakarta, Indonesia Lihat peta

Bioskop Permata yang berdiri sejak tahun 1940-an seolah diremajakan oleh Aaron Noble, seorang muralis asal San Fransisco. Karya mural yang berjudul "Matahari" itu seakan bermaksud untuk memberi 'terang' dalam senjakala Bioskop Permata.

Diperbarui tgl 22 Desember 2021

bioskop permata

Sekitar tahun 1940-an, berdirilah sebuah bioskop di Yogyakarta, dinamai Permata. Sesuai namanya, bioskop itu benar-benar menjadi permata bagi warga Jogja, terutama anak-anak muda. Bioskop Permata tidak hanya menjadi tempat menonton film, tetapi juga tempat berkumpul, melakukan keisengan serta berbagai romantisme masa muda lainnya. Keberadaan bioskop ini bisa sampai mengubah wilayah berdirinya bioskop yang sebelumnya hanya dikenal dengan Jalan Sultan Agung menjadi wilayah Permata.

Baca juga:

Begitu fenomenalnya Bioskop Permata di kala itu, terutama era 60 hingga 70-an, hingga seolah tak memberi hak bagi anak muda Jogja untuk tidak menapakinya. Bioskop ini adalah tempat wajib dikunjungi saat itu, menjadi simbol prestise bagi di kalangan anak muda, sama seperti mal dan kafe pada masa sekarang. Di bioskop ini pula, beragam film-film Indonesia yang fenomenal pernah diputar, seperti Badai Pasti Berlalu versi tahun 70-an, dan Gita Cinta di SMA.

Namun waktu terus melaju, seperti pagi yang mau tak mau harus beranjak menuju senja. Begitu pun Bioskop Permata, sinar kejayaannya kini mulai memudar, beranjak menuju senjakala bisnisnya. Karyawan yang semula berjumlah puluhan sekarang tinggal beberapa. Cabang-cabang yang tersebar hingga ke Wonosobo juga mulai berjatuhan. Bioskop Permata tak lagi dikenal dengan film-filmnya yang bermutu, tetapi justru dikenal sebagai bioskop yang memutar film-film semacam "Gairah Nakal", dsb.

Bioskop Permata hampir saja tak digubris eksistensinya, gedungnya saja seperti dilupakan keberadaannya, hanya sesekali orang melirik ke arah spanduk film yang diputar. Untung saja sebuah komunitas seni bernama Apotik Komik melakukan kegiatan membuat mural, bekerja sama dengan para seniman mural asal San Fransisco. Aksi me-mural yang merupakan salah satu rangkaian dalam Sama-Sama/Together Project itu berhasil 'menyelamatkan' bioskop ini, memberi terang di tengah kesuramannya.

Mengapa aksi me-mural itu bisa memberi terang? Bukan saja karena warna-warni mural yang cerah, tetapi juga karena gambaran mural yang dinamai "Matahari". Seolah tak ingin membiarkan bioskop itu meninggalkan senjakalanya, mural itu berusaha memberi terang hingga bioskop tak sampai di gelapnya malam, alias punah. Sejujurnya, memang mural yang hadir sejak tahun 2003 inilah yang menjadi daya tarik utama Bioskop Permata saat ini, sebab selain keindahan, mural itu juga menggambarkan sosok tertentu.

"Matahari" merupakan hasil imajinasi Aaron Noble, muralis asal San Fransisco yang membuat karya mural di Bioskop Permata, akan sosok superhero. Ia membayangkan sosok superhero baru, yang bukan lagi seorang Superman atau Batman seperti superhero dalam komik Amerika, bukan pula Gatotkaca atau Hanoman dalam cerita wayang Indonesia. Ia mengimajinasikan sosok superhero yang memiliki karakter dan kekuatan super paduan superhero Amerika dan Indonesia. Imajinasi itu mungkin tak lepas dari kenangan masa kecil Aaron, yang tumbuh di kota kecil dengan film-film superhero yang mungkin sering ditontonnya.

Bila melihat mural "Matahari" yang bisa dijumpai di dinding barat Bioskop Permata ini, mungkin saja anda bingung tentang siapa superhero yang dipadukan dan bagaimana karakternya. Kebingungan yang sama juga ada di pikiran YogYES saat melihatnya hingga membuat kami harus bertanya ke Samuel Indratma, salah satu pentolan Apotik Komik yang turut serta dalam Sama-Sama/Together Project. Namun, saat ditanya, Samuel sendiri tidak mengetahui secara pasti hingga ia pun berkata bahwa hal tersebut bisa ditafsirkan oleh setiap orang yang melihat. Justru, menurutnya, jika banyak orang yang menafsirkan maka mural tersebut bisa dikatakan karya seni yang berhasil.

Meski tak jelas siapa yang dipadukan, namun gambaran superhero itu bisa dilihat detail. Superhero yang diciptakan Aaron digambarkan sedang bertarung melawan tokoh lain yang mungkin merupakan musuh bebuyutannya. Superhero itu tampak perkasa, tampil dengan cengkeraman tangan yang kuat serta menggenggam pisau yang berbentuk semacam tanduk dan dihiasi pita-pita yang melingkar. Tubuh superhero itu digambarkan berwarna hitam dan berukuran besar, berada di atas latar yang berwarna ungu.

Sebenarnya, "Matahari" yang ada sekarang sudah mengalami beberapa perubahan. Mulanya, pisau yang digenggam oleh superhero itu tampak jelas, mata pisaunya tampak mengkilat, hingga akhirnya menimbulkan sedikit kebingungan di kalangan muralis lainnya, apakah tidak terlalu "gelap" jika karya superhero itu hadir di dinding sebuah bioskop yang terkenal memutar film-film asmara itu. Karena itulah, sedikit perubahan pun dilakukan dengan mengubah pisau menjadi berbentuk tanduk kerbau serta melakukan perubahan kecil pada bagian lainnya.

Terlepas dari karyanya yang membuat bingung, yang sepertinya memang harus dimiliki oleh sebuah karya seni, mural "Matahari" merupakan karya seni yang istimewa. Mural ini tidak hanya dibuat dengan mengandalkan kreativitas semata, tetapi juga pengalaman personal dan kesenangan sang pembuat. Saat dipilihkan lokasi dinding bioskop, Aaron benar-benar mendapatkan kesenangan. Ia seperti mengenang kembali pengalamannya dengan bioskop yang diakrabinya selama bertahun-tahun, saat ia bekerja di sebuah bioskop di kotanya.

Tertarik melihat superhero kolaborasi yang lahir dari persatuan kreativitas dan pengalaman pribadi Aaron? Datang saja ke Bioskop Permata. Anda bisa menjangkaunya dengan berjalan ke timur dari perempatan Kantor Pos Besar hingga menemukan persimpangan kedua. Mural "Matahari" persisi ada di dinding atas sebelah barat bioskop itu, berbelok ke kiri dari persimpangan kemudian menolehkan pandangan ke kanan atas.

Bila mau, anda bisa juga masuk ke dalam bioskop untuk menonton film yang diputar setiap pukul 10.00, 15.00, 17.00 dan 21.00. Kalau tidak, anda bisa juga meminta ijin masuk ke ruang operator, sekedar melihat aktivitas karyawan yang memutar mesin rol film yang pastinya sudah berusia puluhan tahun. Jika pernah menonton film "Janji Joni" yang memenangkan penghargaan di Singapore Film Festival, anda pasti akan merasa haru melihat para operator mesin pemutar rol itu bekerja.

Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Photo & Artistik: Agung Sulistiono Mabruron
Copyright © 2007 YogYES.COM

Baca juga:
view photo