JEMPARINGAN
Tradisi Kuno Memanah di Keraton Yogyakarta

Bukan sekadar memanah, jemparingan ternyata sarat akan falsafah hidup. Jemparingan diajarkan pada abdi dalem untuk membentuk watak dan jiwa. Tim YogYes berhasil mencoba jemparingan bersama para abdi dalem. Simak liputan selengkapnya.

Diperbarui tgl 23 Desember 2021

Mencoba <i>Jemparingan</i>

Mencoba Jemparingan
(YogYes.com / Jaya Tri Hartono)

Seni memanah di era milenial ini memang sudah jarang ditemukan. Mungkin kita hanya sering melihatnya di serial televisi kolosal yang akhir-akhir ini dibuat ulang atau ditayangkan ulang. Namun, jangan pernah bilang bila memanah itu tidak keren, karena ternyata di dalamnya mengandung akal budi untuk menjalankan kehidupan.

Baca juga:

Di kawasan Keraton Yogyakarta, seni memanah masih dilestarikan. Masyarakat menyebutnya dengan jemparingan. Gaya yang digunakan pun masih mengikuti gaya jemparingan Mataram asli ajaran dari Sri Sultan Hamengku Buwono I. Bagi para abdi dalem keraton, memanah bukan hanya sebagai olah raga, namun juga sebagai olah rasa. Beberapa waktu yang lalu, tim YogYes meminta izin pada pihak keraton yang diwakili oleh KRT Jatiningrat atau biasa dipanggil Romo Tirun (Romo adalah panggilan untuk laki-laki dewasa) untuk dapat mengikuti latihan rutin jemparingan para abdi dalem. Rasa senang menyeruak di dada kami karena beliau mengabulkan keinginan mengikuti latihan yang rutin dilakukan setiap Selasa itu. Tak lupa, Romo Tirun pun mengenalkan tentang jemparingan.

Pukul 15.00 WIB, kami datang ke Kemandungan, utara Alun-Alun Selatan Yogyakarta. Baru ada tiga orang yang datang di sana. Kami pun menunggu hingga para abdi dalem datang. Sekitar pukul 15.30 WIB latihan jemparingan dimulai. Awalnya, kami hanya memperhatikan para abdi dalem menembakkan anak panah ke sasaran. Sasarannya menggunakan orang-orangan atau wong-wongan berbentuk silinder dengan panjang sekitar 35 cm dan diameter sekitar 3,5 cm. Wong-wongan ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kepala dengan warna merah berpoin 3, leher berwarna kuning berpoin 2, dan badan berwarna putih berpoin 1. Di bawah wong-wongan terpasang bola yang melambangkan godaan atau gangguan dengan poin -1.

Anak panah yang para abdi dalem lecutkan, melesat cepat menuju target sasaran. Sebagian besar anak panah menancap pada keenam matras hitam yang digantung berjejer di belakang wong-wongan. Hanya ada satu anak panah yang mengenai bagian putih salah satu wong-wongan yang juga berjumlah total enam. Sebagai tanda, dibunyikan gong satu kali. Riuh sorak para abdi dalem pun memenuhi udara di tanah lapang Kemandungan itu. Kami pun semakin antusias dan tidak sabar mencoba bermain jemparingan.

Seorang laki-laki yang belakangan kami tahu namanya Raden Riyo Joyodipuro atau biasa dipanggil Romo Joyo datang menghampiri kami. "Mau lihat dulu atau langsung coba, Mbak?" tanyanya.

"Lihat dulu saja, Romo," jawab saya.

Lantas, ia mengajak kami masuk ke bangunan joglo sambil membawa busur panahnya lengkap dengan anak panah. Ia mulai menjelaskan bagian-bagian busur panah atau sering disebut gandhewa dan bagian-bagian anak panah. Tak lupa ia juga mengajari kami bagaimana menggunakan busur panah. Berbeda dengan kebanyakan seni memanah yang busur panahnya dipegang secara vertikal, jemparingan yang dilakukan oleh para abdi dalem dipegang secara horizontal dalam keadaan duduk bersila.

"Mengincar sasarannya itu bukan menggunakan mata tetapi menggunakan mata hati, oleh karena itu kegiatan ini dinamakan memanah yang di dalam Bahasa Jawa manah artinya hati," jelas Romo Joyo. Penjelasan Romo Joyo hampir sama dengan apa yang dikatakan Romo Tirun, pamenthanging gandhewa pamanthenging cipta. Artinya saat menarik busur, bukan mengincar sasaran dengan organ mata tapi mata hati. Fokus dengan merasakan dan memusatkan pikiran.

Saya tergeming sesaat, ragu bila nanti saya bisa memanah dengan perasaan. Romo Joyo pun melanjutkan penjelasannya.

"Ayo, Mbak, kita ke sana saja kalo mau lihat dan nyoba," ajak Romo Joyo menuju tanah lapang setelah selesai menjelaskan cara memanah.

Kami mengiyakan dan mengikuti langkah Romo Joyo menuju tikar panjang tempat para abdi dalem duduk dan memanah. Lalu kami pun turut serta duduk bersila di sana. Duduk silanya bukan tepat menghadap sasaran, melainkan agak menyerong agar tangan bisa leluasa menarik tali busur. Romo Joyo memperlihatkan keahliannya melecutkan keempat anak panahnya satu persatu sesaat setelah peluit dibunyikan. Semuanya menancap di matras hitam nomor 6. Setelah peluit dibunyikan lagi, para abdi dalem bersama-sama mengambil anak panah-anak panah yang menancap di sasaran, lantas digunakan kembali untuk memanah. Begitu seterusnya hingga genap 20 ronde. Satu rondenya peserta jemparingan dapat memanah sebanyak 4 kali.

Romo Joyo memberikan saya busur panahnya sambil mempersilakan untuk memanah. Saya langsung menciut, tidak yakin bisa memanah ke sasaran yang jarak dari tempat memanahnya sekitar 30 meter untuk perempuan dan 35 meter untuk laki-laki itu. Duduk bersama ibu-ibu abdi dalem, saya mencoba mempraktikkan apa yang diajarkan Romo Joyo, yaitu berniat sebelum memanah, fokus, dan menempatkan tali busur, ujung anak panah, serta sasaran dalam satu garis lurus yang hanya dapat dirasakan menggunakan hati. Lalu saya mulai memasang anak panah pada busur panah di tangan kiri saya. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan saya perlahan menarik tali busur, sedangkan tangan kanan saya tetap terangkat lurus. Saya melepaskan tali busur, anak panah pun melesat ke depan.

Apakah anak panah itu mengenai sasaran minimal matras hitam? Sayangnya tidak. Anak panah itu hanya melesat sejauh 10 meter kemudian nyungsep di rerumputan. Wajah saya mungkin warnanya sudah hampir sama dengan kepala wong-wongan karena malu. Pelan-pelan dan takut-takut saya menengok ke Romo Joyo.

"Kurang tarikan. Coba lagi," kata Romo Joyo tenang. Sepertinya beliau memang tidak tertarik mencibir apa yang baru saja saya lakukan. Saya pun mematuhi kata-katanya. Saya mencoba lagi.

Anak panah selanjutnya masih juga sama nasibnya dengan anak panah pertama namun jaraknya lebih jauh. Lalu, anak panah yang lain hampir mengenai matras, namun pada akhirnya tetap jatuh ke tanah. Ada juga anak panah yang melesat terlalu jauh hingga ke luar dari benteng Kemandungan. Saat peluit dibunyikan tanda satu ronde selesai, saya segera menghambur keluar benteng, khawatir jika ada orang lain yang mengambil anak panah itu. Untungnya, anak panah masih diam tergeletak di jalan luar benteng.

Saya belum menyerah mencoba jemparingan. Demi hasil yang bagus, saya tambah lagi konsentrasi dan kekuatan mata batin. Mencoba menyatukan apa yang akan saya perbuat dengan tujuan yang ingin dicapai, namun tidak terlalu mematok hasil apa yang akan diraih karena merasa ada zat lebih agung yang memiliki wewenang untuk memberikan hasil. Zlap! Anak panah berhasil saya lecutkan. Pergerakannya saya amati hingga di ujung pandang dan pada akhirnya mata anak panah menancap di matras hitam. Alhamdulillah, ucap saya dalam hati. Walaupun masih belum menancap di sasaran utama, setidaknya sudah mendekati.

Banyak yang kami petik dari bermain jemparingan pada sore itu, bahwa tujuan akhir seni memanah ini bukanlah mendapati busur panah yang mengenai sasaran, melainkan pelajaran untuk pendekatan diri kepada Yang Maha Kuasa. Seperti saat beribadah, mata hati kita ditujukan kepada sesuatu yang tidak dilihat dengan mata, mendekatkan diri kepada-Nya. Jadi, latihan jemparingan sebenarnya untuk memahirkan hubungan dengan zat yang tidak terlihat. Saya tertarik untuk mencobanya lagi suatu saat.

"Kalau yang untuk umum, jemparingan bisa diikuti pada hari Sabtu minggu kedua setiap bulannya. Kalau yang hari Selasa cuma latihan biasa. Hari Kamis Pon memperingati berdirinya Ngayogyakarta Hadiningrat dan Sabtu Pahing nemperingati hari lahir Hamengku Buwono I, biasanya para abdi dalem jemparingan menggunakan pakaian adat," beber Romo Joyo saat jemparingan telah selesai dan kami hendak berpamitan pulang.

Latihan jemparingan yang dibuka untuk umum pada hari Sabtu minggu kedua setiap bulannya dimulai pukul 15.00 WIB bertempat di Kemandungan. Latihan ini dapat diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa biaya. Namun, diharapkan membawa sendiri alatnya karena sebenarnya busur dan anak panah tidak bisa dipinjamkan. Hal ini dikarenakan busur dan anak panah harus melekat pada diri pemiliknya dan alat tersebut termasuk bagian dari badan. Sesuai dengan aturannya, busur dan anak panah ini harus dijaga, tidak dijatuhkan, dan tidak boleh dilompati kaki apalagi terkena kaki.

Baca juga:
view photo