GUDEG PAWON
Langsung Saja ke Dapur Ketika Lapar Menghambur

Jl. Janturan 36-38, Warungboto, Yogyakarta, Indonesia (0274) 6926312 Lihat peta

Dapur menjadi tempat krusial bagi rumah makan. Saking krusialnya, terkadang pengunjung tidak diizinkan untuk mendatangi tempat untuk memasak itu. Namun, berbeda dengan Gudeg Pawon yang malah mengharuskan semua pengunjungnya masuk ke dapur.

Diperbarui tgl 23 Desember 2021

Antrian Menuju 'Pusat Pemerintahan' Gudeg Pawon

Antrian Menuju 'Pusat Pemerintahan' Gudeg Pawon
(YogYes.com / Jaya Tri Hartono)

Waktu Buka Gudeg Pawon
Setiap hari pukul 22.00 - 00.00 WIB

Harga Gudeg Pawon (2018)
Rp40.000 (komplit)

Tiba sejak pukul 20.00 untuk menjadi pengantre pertama, membuat saya gelagapan ketika dua jam kemudian, saat sudah asik membahas hal lain, tiba-tiba pintu dua daun berbeda warna terbuka dan semua orang tiba-tiba bagai air di kolam yang dibuka sumbatnya. Saya bersama Mas Jaya, fotografer Yogyes, masih terduduk di samping pintu. Diam. Namun untunglah, sekelompok Ibu yang datang setelah saya mempersilakan mengambil hak saya menjadi kepala ular antrean yang melata menuju dapur. Di warung gudeg yang satu ini memang, semua harus ke dapur (pawon = dapur).

Baca juga:

Tidak ada waktu meresapi suasana di dapur ketika saya sudah masuk. Perhatian saya langsung tertuju pada Ny. Sumarwanto, istri pemilik Gudeg Pawon sekarang, yang sudah menyambut saya dengan pertanyaan yang tentu akan ia ulang-ulang terus malam itu: "Pakai apa?" Saya menjawab, lalu mulailah sepiring nasi dari Pak Sumarwanto diracik dengan ditambahkan telur, sayur tempe, krecek, dan dada ayam kampung. Barulah ketika seporsi komplit gudeg di piring makan biasa sudah di tangan, saya mulai memperhatikan suasana sekitar dari kursi di sudut ruangan.

Dapur itu luas, kira-kira sepuluh meter kali enam meter. Di tengah ruangan, ada bakul besar berisi nasi diletakkan di atas kursi. Berpindah ke samping utara, di dekat pintu masuk, sebuah tungku kayu panjang bermata tiga terus-menerus membubungkan asap dengan kukusan, panci air panas, dan wajan di atasnya. Sementara itu, di sebelah barat, tempat saya mengamati, ada dipan, lemari, dan tumpukan bahan-bahan mentah untuk produksi gudeg hingga beberapa hari ke depan. Di sebelah timur, rak piring dan perabot memasak berserak, banyak yang terbuat dari anyaman bambu. Akhirnya, di sebelah selatan, tempat kesibukan utama terjadi, ada meja, kursi, dan bahan-bahan racikan gudeg. Bila dapur yang menjadi ikon Gudeg Pawon itu negara, kira-kira inilah pusat pemerintahannya. Di sinilah gudeg diracik. Di sinilah gudeg dibayar.

Dapur itu juga remang, hanya neon redup dan merah jingga api tungku—sesekali lampu flash pelanggan. Makin remang nampaknya sebab asap dari tungku yang sudah bekerja belasan tahun meninggalkan jejaknya di bubungan, di dinding, di tiang, di potret-potret keluarga yang mulai menguning. Di mana-mana. Saya, jadinya, membayangkan banyak susuwatari (seperti di "Spirited Away" dan "My Neighbor Totoro") bersembunyi di dapur itu. Namun tampaknya, melihat dari antrean, tidak ada yang peduli.

Cikal bakal Pawon mulai ada sejak 1958. Waktu itu, Bu Prapto Widarso, jualan berpindah-pindah, dari Gondomanan, terminal, dan Pasar Sentul tiap pukul tiga subuh. Pelanggan setia awalnya adalah penjual dan pembeli di pasar yang memilih gudegnya sebagai sarapan sebelum beraktivitas. Oleh karena antusiasme pelanggan yang sampai menyusul ke rumah bila Bu Prapto belum sampai di tempat jualannya, akhirnya pada tahun 2000, ia memilih berjualan di rumah saja. Di dapur tepatnya. Jam buka yang awalnya setia dengan pukul tiga subuh, semakin maju dan maju. Inilah awal usaha yang sekarang diteruskan anak keduanya, Pak Sumarwanto, yang percaya, menurut saran petuah Ibunya, bahwa kerja itu tidak perlu ngoyo-ngoyo. Inilah sebabnya, pintu dapurnya rata-rata hanya terbuka dua jam sebelum akhirnya tertutup kembali. Namun tentu, gudeg ini cepat habis bukan karena jumlah porsinya terbatas saja, tapi juga rasanya.

Dan memang, gudeg yang biasa disebut "gudeg artis" dalam waktu yang satu—banyak artis menyantap gudeg di sini—dan "gudeg selera nusantara" dalam waktu lain—banyak orang dari berbagai daerah datang ke sini—menawarkan santap gudeg di luar ekspektasi umum. Di warung yang mblusuk di gang sempit perkampungan warga ini, gudeg yang ditawarkan basah dan tidak legit. Areh, kuah gudeg yang terbuat dari santan dan blondo, lebih banyak dan encer; manis gorinya tidak sampai mengganggu. Sementara masalah pedas tidaknya, tergantung pada kita: silakan pecahkan rawit yang ikut di piring bila ingin pedas, bila tidak, biarkan saja.

Biasanya, gudeg identik dengan gori, ayam, telur dan tempe yang legit. Selain itu, gudeg yang lebih dikenal orang adalah gudeg kering, yang memang lebih bisa dibawa keluar dari Yogyakarta karena awet. Sudah manis, kering lagi. Tidak heran bilang sebagian orang tidak selera. Saat Ibu saya berkunjung ke Yogyakarta dan makan siang ke Gudeg Wijilan, ia bertanya setelah makanan sudah disajikan, "Ada kuah tidak ya?" Ia, ternyata, tidak senang makan "kering". Andaikan saya membawanya ke Gudeg Pawon waktu itu, saya yakin, dengan gurih, hangat, dan lembutnya seluruh bagian ayam di sini, dia akan menyebut gudeg sebagai salah satu makanan yang dia senangi selama di Yogyakarta.

Tentu jelas, Ibu saya bukan semua orang. Selera orang beda-beda. Namun apa pun itu, yang penting diketahui, gudeg tidak melulu kering, kental, dan legit; ada juga yang encer, basah dan tidak terlalu manis. Bila kebetulan senang dengan yang kedua ini, menuju dapur Gudeg Pawonlah pilihannya.

Cara menuju ke sana:
0 KM - Jl. Raya Jogja - Jl. Prof. DR. Soepomo Sh.

Baca juga:
view photo