EMBUNG BATARA SRITEN
Telaga Buatan Tertinggi di Jogja

Sriten, Pilangrejo, Nglipar, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia Lihat peta

Batara Sriten bukanlah salah satu nama dari sekian banyak dewa-dewi dalam kisah-kisah pewayangan Jawa. Ia hanyalah telaga buatan di puncak tertinggi Gunungkidul yang menawarkan keindahan panorama hingga membuat siapa pun terpesona olehnya.

Diperbarui tgl 23 Desember 2021

Pemandangan alam yang indah saat senja

Pemandangan alam yang indah saat senja
(YogYes.com / Jaya Tri Hartono)

Tiket Masuk Embung Batara Sriten 2018
Rp 3.000

Jam Buka Embung Batara Sriten
Senin - Minggu: pukul 04.30 - 18.00 WIB

Jalanan menanjak dan berliku-liku menuju Pegunungan Baturagung Utara membuat saya tak henti-hentinya menahan nafas, tegang. Terlebih ketika tiba-tiba kendaraan kami berhenti di tengah tanjakan curam dan panjang. Jalanan cor blok yang mulai rusak, berlanjut dengan jalanan berbatu kapur kurang lebih sepanjang 5,5 kilometer mengantarkan YogYES menuju dataran tertinggi di Kabupaten Gunungkidul. Saya baru bisa bernafas lega ketika kendaraan telah mencapai tanah datar yang tertutup conblock, area tempat parkir di ketinggian lebih dari 800 Mdpl. Sebuah telaga buatan yang tak terlalu besar dengan kapasitas sekitar 10 ribu meter kubik tersaji di depan mata, dikelilingi pagar besi rendah dan jalan conblock di tepinya.

Baca juga:

Kawasan pegunungan Baturagung Utara tak jauh berbeda dengan kawasan kabupaten Gunungkidul lainnya, berupa pegunungan karst tandus dan sering kali dilanda kekeringan ketika kemarau tiba. Pembangunan retention basin yang dikenal dengan nama Embung Batara Sriten pun dianggap sebagai solusi untuk mencegah kelangkaan air sekaligus mengembangkan kawasan agrowisata buah di sekitarnya, dengan memanfaatkan air hujan yang ditampung di musim penghujan.

Saat pertama kali mendengar namanya, terlintas sosok-sosok batara atau dewa-dewi yang tinggal di kayangan dalam kisah-kisah pewayangan. Awalnya saya menerka, lokasi embung yang tak biasa di dataran tinggi digambarkan bagai surgaloka tempat dewa dewi bertakhta. Namun ternyata, sebutan Embung Batara Sriten diberikan karena lokasi embung ini berada di Pegunungan Baturagung Utara yang kemudian disingkat menjadi Batara, tepatnya di wilayah Padukuhan Sriten.

Angin tak henti-hentinya berhembus membawa hawa dingin khas pegunungan ketika YogYES menelusuri tepi embung. Dari jarak sedekat ini dapat terlihat lapisan tipis geo membran yang digunakan dalam teknik pembuatan Embung Batara Sriten. Karena lapisan tipis yang menyerupai plastik hitam inilah, Embung Batara Sriten tak digunakan untuk memelihara ikan. Sebab keberadaan ikan-ikan akan merusak lapisan tipisnya. Hingga akhirnya Embung Batara Sriten hanya dihuni oleh berudu-berudu yang terlihat asyik berenang di air yang berwarna biru kehijauan.

Menikmati indahnya panorama Embung Batara Sriten bisa dilakukan dalam berbagai cara. Seperti duduk-duduk di gazebo-gazebo atau pendopo di sekitar embung sambil merasakan hembusan angin yang tetap dingin, meskipun matahari sedang bersinar penuh semangat. Bisa juga sambil menyesap segarnya segelas es teh atau nikmatnya secangkir kopi tubruk di warung-warung kaki lima yang tak jauh dari embung. Mencoba teduhnya naungan pohon ikonik di Embung Batara Sriten, dalam ayunan hammock seperti yang YogYES lakukan pun menjadi salah satu pilihan menyenangkan.

Sementara yang lain masih terpesona dengan keindahan panorama telaga buatan serta terbuai sejuknya udara pegunungan, dataran yang lebih tinggi di sisi timur menggoda saya untuk mengeksplorasi. Puncak Tugu Magir, begitulah puncak di sisi timur ini disebut. Puncak tertinggi di Pegunungan Baturagung Utara sekaligus puncak tertinggi di Kabupaten Gunungkidul. Di sinilah tempat para penjelajah dirgantara mencoba mengembangkan parasut paralayang dari ketinggian 859 Mdpl. Di tempat ini pula terdapat makam tiban yang dipercaya penduduk setempat sebagai petilasan Syeh Wali Jati, seorang kerabat Sultan pada masanya.

Puncak Tugu Magir menyuguhkan pemandangan 360 derajat wilayah-wilayah di sekitarnya yang berlokasi lebih rendah. Sejauh mata memandang dapat terlihat landscape Kota Klaten dengan Rawa Jombor, Kota Jogja dengan Merapi nan gagah, deretan pegunungan Gunungkidul hingga berlanjut ke wilayah Wonogiri yang tertutup kabut tipis. Dari puncak ini pula kita bisa menyaksikan cahaya pertama matahari mengawali hari, juga saat-saat ia kembali pulang ke peraduan. YogYES berkunjung ketika cuaca cukup cerah lewat tengah hari, sehingga kami tak dapat menyaksikan saat-saat matahari muncul dari balik kabut tipis yang seolah seperti awan-awan berarakan. Namun YogYES mendapat kesempatan untuk menyaksikan saat-saat ia perlahan mulai menghilang, menyelinap di balik cakrawala setelah seharian bersinar cukup garang.

Ketika kami beranjak menuruni Puncak Tugu Magir dan mencapai tepi embung, langit sudah semakin gelap meskipun sisa-sisa semburat merah masih terlukis di langit barat. Suara adzan maghrib mulai terdengar bersahutan di kejauhan, sebagai tanda sudah saatnya kami pulang. Seperti beberapa orang yang sama-sama tak ada niatan untuk camping di kawasan Embung Batara Sriten. Perjalanan pulang pun sama menegangkannya seperti saat kami datang, menyusuri jalanan menurun curam dengan penerangan yang terbatas dari lampu kendaraan. Rem kendaraan harus dipastikan dalam keadaan optimal saat menuruni jalanan pulang, terutama bagi pengguna kendaraan matic yang sebenarnya tak dianjurkan untuk dipergunakan menuju Embung Batara Sriten. Tak adanya engine brake pada motor matic membuat pengemudi hanya bisa mengandalkan rem, sehingga lebih mudah membuat motor matic mengalami over heating pada disc brake. Rasa lega baru memenuhi rongga dada saat roda-roda kendaraan kami telah melaju di jalanan mulus beraspal, di saat langit sudah benar-benar pekat dengan pendar cahaya bulan nan pucat.

Baca juga:
view photo